Hipertensi Resisten (RH)
Ramdini, AD, S.Farm. Apt
(sebagai tugas PSPA)
(sebagai tugas PSPA)
Abstrak
Hipertensi resisten didefinisikan sebagai kondisi dimana tekanan darah tidak terkontrol baik meskipun telah menggunakan 3 macam obat atau lebih termasuk penggunaan diuretik. Beberapa studi observasi yang dilakukan untuk mengetahui prevalensi hipertensi resisten. Diperkirakan 10% - 35% dari semua pasien hipertensi yang dirawat terdeteksi sebagai hipertensi resisten (RH). RH berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular, DM, CKD, obstruktive sleep apnea, renal artery stenosis dan aldosteronisme primer. Pasien dengan resistensi hipertensi memerlukan evaluasi secara menyeluruh untuk memastikan doagnosa dan mengoptimalkan pengobatan. Terapi yang di rekomendasikan mencakup perubahan gaya hidup (lifestyle), diet asupan natrium, diet tinggi fiber serta dengan obat antihipertensi. Terapi Kombinasi obat diuretik, Calcium Chanel Blocker, ARB, Beta Blocker, antagonis reseptor mineralkortikoid merupakan regimen yang biasa diberikan pada penderita hipertensi. Antagonis reseptor mineralkortikoid (spironolactone) terbukti efektif mengontrol tekanan darah pasien RH, gagal jantung dan aldosteronisme primer. Chlorthalidon merupakan diuretik terbukti lebih efektif mengontrol tekanan darah jika dibandingkan dengan Hydrochlorthiazid. Terapi aktivasi baroreflex dan denervasi renal, berdasarkan hasil uji coba mampu menurunkan tekanan darah. Terapi ini dapat menjadi pilihan baru dalam mengatasi RH.
Hipertensi resisten didefinisikan sebagai kondisi dimana tekanan darah tidak terkontrol baik meskipun telah menggunakan 3 macam obat atau lebih termasuk penggunaan diuretik. Beberapa studi observasi yang dilakukan untuk mengetahui prevalensi hipertensi resisten. Diperkirakan 10% - 35% dari semua pasien hipertensi yang dirawat terdeteksi sebagai hipertensi resisten (RH). RH berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular, DM, CKD, obstruktive sleep apnea, renal artery stenosis dan aldosteronisme primer. Pasien dengan resistensi hipertensi memerlukan evaluasi secara menyeluruh untuk memastikan doagnosa dan mengoptimalkan pengobatan. Terapi yang di rekomendasikan mencakup perubahan gaya hidup (lifestyle), diet asupan natrium, diet tinggi fiber serta dengan obat antihipertensi. Terapi Kombinasi obat diuretik, Calcium Chanel Blocker, ARB, Beta Blocker, antagonis reseptor mineralkortikoid merupakan regimen yang biasa diberikan pada penderita hipertensi. Antagonis reseptor mineralkortikoid (spironolactone) terbukti efektif mengontrol tekanan darah pasien RH, gagal jantung dan aldosteronisme primer. Chlorthalidon merupakan diuretik terbukti lebih efektif mengontrol tekanan darah jika dibandingkan dengan Hydrochlorthiazid. Terapi aktivasi baroreflex dan denervasi renal, berdasarkan hasil uji coba mampu menurunkan tekanan darah. Terapi ini dapat menjadi pilihan baru dalam mengatasi RH.
Kata kunci: hipertensi resisten, pengobatan RH, chlorthalidon, spironolactone, baroreflex, Renal denervasi.
Pendahuluan
Berdasarkan National Joint Commite 7 (JNC7), Resistant Hypertension (RH) didefinisikan sebagai berkurangnya kontrol tekanan darah (BP) atau BP berada diatas target terapi meskipun telah menggunakan tiga jenis obat hipertensi, termasuk diuretic dosis maksimal.1 American Heart Association (AHA) juga mendefinisikan RH sebagai kondisi BP dikontrol oleh tiga atau lebih jenis obat hipertensi. Beberapa tahun terakhir, penelitian epidemiologi dan prevalensi RH banyak dilakukan di Eropa dan Amerika. Prevalensi RH diperkirakan 10%- 35% dari semua pasien RH.2 Keriteria pasien tersebut diantaranya BP tidak terkontrol dan berada diatas target BP (TD <140/90 mmHg) meskipun diberikan 3 jenis obat anti-hipertensi dosis maksimal serta penambahan diuretik.3 Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Daugherty et al, pada tahun 2002 hingga 2006, sebanyak 205.750 pasien hipertensi, 1,9 % diantaranya telah berkembang menjadi RH dalam kurun waktu rata-rata 1,5 tahun dari pengobatan. Setelah 3,8 tahun follow-up, pasien RH mengalami kejadian penyakit kardiovaskular yang signifikan. Berdasarkan studi cross sectional clinical Laboratory Kaiser Permanente Southern California tahun 2006-2007 sebanyak 470.386 penderita hipertensi, 12,8% diantaranya telah teridentifikasi RH. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan RH lebih sering terjadi pada ras kulit hitam, usia lanjut, laki-laki, dan obesitas. Pasien dengan RH memiliki resiko penyakit kardiovaskular dan kerusakan organ lebih besar.5 Penyakit Diabetes militus, penyakit jantung iskemik, gagal jantung kengestif dan CKD diketahui sebagai faktor resiko RH. Penatalaksanaan RH memerlukan identifikasi yang tepat dan evaluasi menyeluruh guna intervensi lebih lanjut yang tepat. Dalam jurnal ini akan membahas terkait manajemen Hipertensi Resistan (RH) berdasarkan beberapa publikasi penelitian RH yang dilakukan di Amerika dan Eropa.
Penyebab Hipertensi Resisten (RH) Hipertensi yang tidak terkontrol dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan patofisiologi terjadinya RH. Penyakit hipertensi dapat disebabkan karena penyebab sekunder hipertensi seperti CKD (Chronic Kidney Disease), diabetes militus, renal artery stenosis, obstructive sleep apnea (OSA), hiperaldosterenisme primer. Selain itu kepatuhan pengobatan juga menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya hipertensi resisten.6 Obstruktive Sleep Apnea (OSA) OSA didefinisikan sebagai gangguan pernafasan saat tidur yakni ketiadaan aliran udara meskipun terdapat usaha ventilasi yang ditandai dengan kontraksi otot pernapasan.6 Kelainan tersebut disebabkan adanya penyempitan dan penutupan saluran nafas bagian atas. OSA sendiri sering dikaitkan dengan kejadian morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit kardiovaskular. OSA ditandai dengan rasa kantuk berlebihan dan rasa lelah pada siang hari, serta kualitas tidur yang buruk karena pasien sering terbangun saat tidur. Pasien OSA akan mengalami peningkatan aktivitas simpatik dan aldosteron. Coulhan DA, et.al 2004 dalam studi-nya menjelaskan bahwa peningkatan sekresi aldosteron pada pasien OSA akan berpengaruh terhadap peningkatan tekanan darah.7
Mekanisme OSA menjadi salah satu faktor penyebab RH namun belum sepenuhnya dipahami. Berdasarkan penelitian, pasien OSA akan mengalami peningkatan aktivitas aldosteron dan saraf simpatik serta tekanan darah. Penelitian yang dilakukan oleh Pratt et al, 2007 menunjukkan OSA secara signifikan berhubungan dengan peningkatan ekskresi aldosteron seiring parahnya OSA.8 Pasien OSA biasanya diatasi dengan pemakaian CPAP (Continous positive airway pressure) sebagai alat bantu pernapasan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Lozano et al, melaporkan bahwa pasien RH dengan OSA yang menggunakan CPAP > 5,8 jam per malam dalam 24 jam mengalami penurunan sistol dan diastol lebih besar jika dibandingkan pada penggunaan < 5,8 jam per malam. Studi tersebut juga melaporkan bahwa penggunaan CPAP pada pasien OSA dapat menurunkan resiko munculnya penyakit kardiovaskular.9
Aldosteronemisme Primer
Aldosteronemisme primer ditandai dengan produksi otonom aldosteron oleh kelenjar adrenal yang dapat menekan produksi renin di apparatus juxtaglomerular ginjal. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan ekspansi volume, hipertensi tidak terkontrol, alkalosis metabolik, serta hipokalemia. Hiperaldosteronisme primer diketahui sebagai penyebab umum hipertensi sekunder yang berkembang menjadi RH. Prevalensi hiperaldosteronisme primer dengan pasien RH jauh lebih tinggi. Berdasarkan hasil studi observasi dari 1.616 pasien dengan RH, 20,9% pasien dinyatakan positif hiperaldosteronisme primer setelah dilakukan tes skrining.10 Sera berdasarkan studi observasi dari 88 pasien yang dirujuk ke klinik hipertensi University of Alabama di Brimingham, 20% pasien diataranya telah teridentifikasi sebagai penderita hiperaldosteronisme primer.11 Aldosteron berperan penting dalam hipertensi, saat aldosteron berlebih risiko kemungkinan timbulnya RH lebih besar, hal ini didukung oleh beberapa bukti penelitian observasi klinis.
Renovaskular diseases
Penyebab lain dari hipertensi sekunder adalah penyakit renovaskular yang disebabkan oleh lesi stenosis di arteri ginjal. Beberapa pasien dengan renal artery stenosis, insufiensi ginjal atau penurunan fungsi ginjal secara mendadak, proteinuria atau bahkan sindrom nefrotik dapat terdeteksi sebagai penderita RH. Lebih dari 90 % renal arteri sclerosis berasal dari artherosclerotic dan akan meningkat pada pasien dengan faktor resiko kardiovaskular, usia lanjut, kebiasaan merokok, dislipidemia dan DM.12 Prevalensi artherosclerotic renal artery stenosis (ARAS) pada populasi umum berasa di kisaran usia > 65 tahun. Penderita artherosclerotic renal artery stenosis dengan RH dapat direkomendasikan dilakukan tindakan revaskularisasi. Tindakan itu dilakukan dengan memasang stent pada pembuluh darah yang berfungsi membuka kembali pembuluh darah sehingga darah dapat mengalir kembali. Umumnya terapi obat yang dapat diberikan pada pasien RH adalah dalam bentuk kombinasi. Jenis obat antihipertesi diantaranya harus mencakup ACE inhibitor, penghambat reseptor angiotensin (ARB), CCB (Calcium Chanel Blocker), Beta Blocker. Pada penelitian observasi secara prospektif penggunaan ARB untuk pengobatan ARAS dapat ditoleransi dengan baik pada 78,3% pasien. Pada 60 % pasien yang mengguanakan ACE inhibitor harus dilakukan evaluasi kreatinin serum atau laju filtrasi glomerulus dan kadar kalium. Pengontrolan tekanan darah dilakukan melalui penurunan faktor resiko kardiovaskular seperti obat penurun kadar lipid, agen platelet, pengobatan diabetes dapat diberikan berdasarkan guideline therapy.2
Pengobatan Non- Farmakologi
Lifestyle/ gaya hidup
Lifestyle/ gaya hidup
Diet rendah natrium, terbukti efektif menurunkan tekanan darah, terutama pada penderita hipertensi di Afrika dan Amerika. Studi observasi dan uji klinis telah menunjukkan adanya peningkatan asupan natrium yang dapat dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah. Asupan natrium yang dapat direkomendasikan terhadap pasien hipertensi adalah < 1.500 mg/hari.
Dalam penelitian terbaru secara prospektif, yang membandingkan antara pasien RH yang melakukan diet rendah natrium dan diet tinggi natrium. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasien RH diet rendah natrium memiliki penurunan tekanan darah yang cukup signifikan sebesar 22,7/9,1 mmHg. Penurunan tekanan darah ini setara dengan efek dua agen antihipertensi sehingga diet rendah natrium penting dalam pengobatan RH.6
Dalam penelitian terbaru secara prospektif, yang membandingkan antara pasien RH yang melakukan diet rendah natrium dan diet tinggi natrium. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasien RH diet rendah natrium memiliki penurunan tekanan darah yang cukup signifikan sebesar 22,7/9,1 mmHg. Penurunan tekanan darah ini setara dengan efek dua agen antihipertensi sehingga diet rendah natrium penting dalam pengobatan RH.6
Diet tinggi serat, rendah lemak
Diet kaya akan buah sayuran, kalium magnesium, kalsium dan susu rendah lemak jenuh total atau yang sering disebut diet DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) direkomendasikan pada semua penderita hipertensi maupun hipertensi resisten. Sebuah studi randomized clinical study secara prospektif efek diet kaya akan buah dan sayuran, susu rendah lemak pada 459 orang dewasa sehat dan orang dengan hipertensi memiliki tekanan darah rata-rata 131,3/84,7 mmHg dengan diet asupan natrium dan berat badan konstan. Efek penurunan tekanan darah ditunjukkan pada pasien hipertensi yang menjalani diet DASH. Diet tersebut terbukti mampu mengurangi tekanan darah sebesar 11,4/5,5 mmHg pada pasien hipertensi dan 3,5/2,1 mmHg pada orang tanpa hipertensi. Studi tersebut membuktikan bahwa diet kaya akan buah, sayuran, susu rendah lemak jenuh total dapat mencegah dan mengobati hipertensi.6,13 Obesitas berpengaruh terhadap hipertensi dan terbukti berkaitan erat dengan RH. Studi penurunan berat badan pada penderita hipertensi terbukti efektif dalam penurunan tekanan darah sebesar 6/4,6 mmHg.14
Latihan fisik/olahraga
Studi meta-analisis yang dilakukan random terhadap penderita hipertensi, terbukti bahwa latihan aerobik secara teratur dapat menurunkan tekanan darah dengan rata-rata 4/3 mmHg.16 Beberapa penderita RH di Amerika dan Afrika, 16 minggu bersepeda stasioner 3 kali seminggu terbukti mampu mengurangi tekanan darah sebesar 7/5 mmHg.16 Studi random lain juga membuktikan bahwa latihan aerobik pada 50 penderita RH selama 8-12 minggu mampu menurunkan tekanan darah sebesar 12/7mmHg.15 Berdasarkan pengamatan pada penelitian tersebut, aktivitas fisik/olahraga harus dimasukkan pada pendekatatan terapi RH.6
Farmakologi RH
Evaluasi terapi juga dapat termasuk kepatuhan pengobatan (Adherance) pada penderita RH, yang penting dilakukan sebelum dilakukan pengobatan. Pemilihan jenis pengobatan RH tergantung pada jalur patofisiologi yang mengakibatkan terjadinya RH. Aktivasi Renin-Angiotensis System (RAS), aktivitas berlebih pada sistem saraf simpatik (SNS) dan ekspansi volume intravaskular adalah target utama farmakologis dalam algoritma RH.2,17 Penentuan kombinasi obat pada pengobatan penderita RH, menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan terapi. Studi kohort retrospektif menjelaskan bahwa kelas anti-hipertensi yang paling sering diresepkan adalah ACE inhibitor dan atau ARB, 92,2 % penggunaan diuretik, Calcium Chanel Blocker 83,6% dan Beta Blocker 80,0%. Anti-hipertensi yang minim digunakan diantaranya Chlorthalidon (3.0%) dan antagonis reseptor mineralkortikoid (5,9%). Kedua jenis anti- hipertensi tersebut telah direkomendasikan berdasarkan bukti (evidence base). Chlortalidon signifikan sebagai obat anti- hipertensi jika dibandingkan golongan diuretik thiazid lainya, chlorthalidon memiliki durasi yang panjang dan profil risiko kardiovaskular yang lebih minimal. Kurangnya pengobatan yang intensif disertai minimnya terhadap kepatuhan pengobatan signifkan berpengaruh terhadap penurunan dan kontrol tekanan darah yang baik. Salah satu penyebab RH adalah tingginya volume yang signifikan sehingga diuretik sangat dibutuhkan pada penderita RH.6
Baru-baru ini Chlorthalidon dan antagonis reseptor mineralkortikoid direkomendasikan sebagai pengobatan untuk pasien RH.17 Pendekatan terapi dengan penambahan antihipertensi secara bertahap direkomendasikan. Pendekatan tersebut berdasarkan pada patofisiologi RH, sifat anti-hipertensi, profil keamanan dan khasiat masing-masing obat. Karena data penelitian penggunaan obat antihipertensi dalam pengobatan RH sangat terbatas maka pendekatan terapi lebih berbasis pada bukti (Evidence Base Medicine).17
Diuretik
Penderita RH sering mengalami ekspansi volume cairan yang mendasari timbulnya resistensi pengobatan dan kontrol tekanan darah yang buruk. Oleh karena itu pemberian diuretik menjadi penting pada penderita RH. Pada studi yang dilakukan oleh Michael et,al 2005 secara random single blind selama 8 minggu, pasien hipertensi diberikan obat anti- hipertensi Chlorthalidon dan Hydrochlortiazid.18 Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan efikasi dan potensi penurunan tekanan darah dari kedua jenis obat tersebut. Pemberian Chlorthalidon 12,5mg per hari (dosis titrasi hingga 25mg/hari) selama 24 jam perawatan terjadi penurunan tekanan darah lebih besar dibandingkan pada pemberian Hydrochlortiazid 25 mg per hari (dosis titrasi hingga 50 mg/hari).19 Selain itu Chlorthalidon memiliki resiko minimal pada kardiovaskular dibandingkan dengan Hydroclorthiazid. Meskipun Chlorthalidon dengan Hydroclorthiazid memiliki struktur yang sama, namun dari segi farmakokinetik kedua obat tersebut berbeda. Waktu paruh Chlorthalidon 40-60 jam sedangkan chlorthiazid hanya 6 sampai 15 jam. Perbedaan farmakokinetik inilah yang diduga menjadi dasar perbedaan potensi kedua obat tersebut. Chlorthalidon memiliki durasi efek yang lebih panjang jika dibandingkan dengan Hydrochlorthiazid. Chlorthalidon mampu lebih lama menjangkau jaringan kompartemen sehingga efek diuretik lebih lama. Berdasarkan potensi dan efek minimal kardiovaskular yang dimiliki chlorthalidon maka obat ini sangat direkomendasikan pada pasien RH.20 Penderita ginjal kronik stadium 4 dan 5 (laju filtrasi glomerulus 30 ml/menit/1,73 m2) diuretik loop mungkin diperlukan untuk mengontrol tekanan darah. Furosemide merupakan diuretik dengan kerja pendek (Short-acting) sehingga dibutuhkan 2 kali per hari dengan dosis kedua setelah 6-8 jam atau torsemid yang digunakan satu kali per hari (long- acting loop diuretic).21
Antagonis reseptor mineralkortikoid
Aktivasi RAS berlebih (Renin- Angiotensin System) akan berakibat diproduksinya aldosterone secara berlebih. Hal ini adalah fenomena yang sangat umum pada RH dan merupakan target utama terapi. Aldosteron berlebih dapat secara efisien dihambat oleh antagonis reseptor mineralkortikoid (spironolactone dan eplerenon). Antagonis reseptor mineralkortikoid terbukti efektif pada orang ras kaukasian di Afrika dan Amerika yang menderita hipertensi tanpa diagnosa hiperaldosterenima. Sebuah studi prosepektif dari Anglo-Scandinavian Cardiac Outcome Trial, sebanyak 1.411 pasien RH diberikan spironolactone 25 mg/hari sebagai lini terapi keempat. Setelah 1,3 tahun rata-rata subjek mengalami penurunan tekanan darah yang signifikan yakni sebesar 22/10 mmHg.22 Hal serupa juga ditunjukkan oleh penelitian prospektif yang dilakukan oleh Souza et al 2010, 175 pasien RH diberikan spironolactone 25-50 mg per hari sebagai regimen standar. Setelah 8 bulan dipantau kembali pasien mengalami penurunan tekanan darah sebesar 16/9mmHg.23 Penambahan spironolactone dengan dosis 25mg/hari ke dalam regimen termasuk ACE inhibitor dan atau ARB pada kebanyakan pasien gagal jantung kongestif dengan RH akan meningkatkan 30 % kelangsungan hidup penderita RH. Pasien RH dengan CKD perlu berhati-hati dalam menggunakan obat tersebut karena beresiko hiperkalemia. Oleh karena itu sebelum memulai pengobatan perlu dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal. Meskipun algoritma khusus untuk RH belum banyak tersedia, rekomendasi AHA mengenai penggunaan spironolactone pada pasien CHF cukup tepat dan dapat diterapkan pada penderita RH.2
Novel device therapies Baroreflex stimulus
Dua perangkat stimulasi sinus karotoid (Rheos® dan Barostimneo®) telah terbukti efektif menurunkan tekanan darah. Rheos Hypertension Therapy System (Rheos®, Minneapolis , MN, USA) adalah perangkat implan yang terdiri dari generator pulsa dan dua elektroda yang ditempatkan secara bilateral untuk mengaktifkan baroreseptor karotis.6 Rheos sebagai generasi pertama perangkat implan terapi untuk RH. Pengujian baroreflex dilakukan dengan penanaman system rheos pada 265 pasien RH, aktivasi terapi dilakukan pada 1 bulan atau 6 bulan setelah implantasi. Namun sayangnya pengujian terapi ini gagal dalam menunjukkan hasil penurunan tekanan darah dalam kurun waktu 6 bulan dan prosedur belum dianggap aman. Efek penurunan tekanan baru muncul setelah 12 bulan penggunaan. Alat tersebut dianggap tidak aman secara prosedural karena resiko cidera saraf permanen pada saat implantasi. Selain itu terdapat subjek uji mengalami keluhan gangguan pernapasan dan luka setelah implantasi.24 Setelah Rheos, generasi kedua adalah Barostimneo dengan desain sederhana dan ukuran implan yang lebih kecil. Pengujian ini dilakukan secara open label tidak acak pada 30 pasien dengan RH dengan tujuan mengevaluasi keamanan, khasiat, penurunan tekanan darah sistolik dalam kurun waktu 6 bulan. Hasil pengujian menunjukkan penurunan tekanan darah 4,4/2,5 mmHg pada 6 bulan pemantauan.6 Penggunaan Barostimneo dianggap memiliki profil keamanan yang sebanding dengan alat pemacu jantung (pacemaker). Akan tetapi penggunaan-nya memerlukan tindakan pembedahan dan berhubungan dengan masalah prosedur keamanan yang presisten.24
Renal Symphatic Denervation (RSD)
Penderita hipertensi resisten biasanya mengalami peningkatan kinerja eferen otonom simpatis terhadap ginjal karena produksi transmitter norepinefrin yang berlebihan dari kelenjar adrenal. Hal inilah yang mendasari mekanisme tindakan RSD dalam mengatasi RH. Teknik RSD yang digunakan dalam studi Symplicity HTN adalah dengan sistem kateter. Akses endovaskular dicapai lewat arteri femoralis dan kateter dimasukkan hingga mencapai arteri renalis, kemudian kateter dihubungkan ke generator yang menghasilkan energi ablasi 8 watt selama 2 menit/arteri. Ablasi biasanya dilakukan hingga 6 kali dalam posisi berbeda. Studi Symplicity HTN-2 terhadap 106 pasien RH, RSD mampu menurunkan tekanan darah dengan selisih mencapai 33/11mmHg. Akan tetapi studi tersebut dilakukan terlalu singkat (rata-rata 6 bulan) dan pemantauan serta penjelasan tentang kondisi pasien selanjutnya tidak jelas.25 Hingga saat ini baru studi Symplicity HTN-2 sebagai studi besar yang membuktikan manfaat RSD untuk kasus RH. Untuk mengetahui efek jangka panjang penggunaan, profil keamanan, pengaturan dosis obat antihipertensi, pengaruh sistem kardiovaskular dan ginjal, serta cost- effectiveness, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.25
Kesimpulan
RH adalah masalah klinis umum yang muncul pada penderita hipertensi umum maupun sekunder. Pasien RH harus dievaluasi dan diskrining untuk mengetahui penyebab timbulnya hipertensi resisten. Penyebabnya dapat disebabkan karena faktor RAS (Renin-Angiotension System), aldosteronisme primer, dan obstructive sleep apnea. Pasien harus diberi konseling tentang gaya hidup yang dimodifikasi, dengan mangatur pola diet/ asupan natrium (DASH), penurunan berat badan, dan olahraga. Terapi kombinasi dengan kelas antihipertensi yang berbeda sangat penting dalam pengobatan yang efektif RH. Kombinasi ideal harus meyertakan diuretik thiazide seperti seperti chlorthalidone dalam regimen, hal ini didasarkan kepada durasi kerja chorlthalidon yang lebih panjang dan mampu mengontrol anthipertensi lebih baik. Aktivitas aldosteron yang berlebihan dalam patogenesis RH, diatasi dengan penghambat reseptor mineralkortikoid sebagai antihipertensi lini keempat dalam terapi dianjurkan. Uji klinis mengevaluasi keamanan dan kemanjuran terapi baru termasuk terapi aktivasi baroreflex dan RSD saat ini sedang berlangsung, dengan data awal yang menguntungkan. Teknik tersebut memiliki potensi untuk menambah dimensi baru yang menarik untuk mengatasi hipertensi resisten.
RH adalah masalah klinis umum yang muncul pada penderita hipertensi umum maupun sekunder. Pasien RH harus dievaluasi dan diskrining untuk mengetahui penyebab timbulnya hipertensi resisten. Penyebabnya dapat disebabkan karena faktor RAS (Renin-Angiotension System), aldosteronisme primer, dan obstructive sleep apnea. Pasien harus diberi konseling tentang gaya hidup yang dimodifikasi, dengan mangatur pola diet/ asupan natrium (DASH), penurunan berat badan, dan olahraga. Terapi kombinasi dengan kelas antihipertensi yang berbeda sangat penting dalam pengobatan yang efektif RH. Kombinasi ideal harus meyertakan diuretik thiazide seperti seperti chlorthalidone dalam regimen, hal ini didasarkan kepada durasi kerja chorlthalidon yang lebih panjang dan mampu mengontrol anthipertensi lebih baik. Aktivitas aldosteron yang berlebihan dalam patogenesis RH, diatasi dengan penghambat reseptor mineralkortikoid sebagai antihipertensi lini keempat dalam terapi dianjurkan. Uji klinis mengevaluasi keamanan dan kemanjuran terapi baru termasuk terapi aktivasi baroreflex dan RSD saat ini sedang berlangsung, dengan data awal yang menguntungkan. Teknik tersebut memiliki potensi untuk menambah dimensi baru yang menarik untuk mengatasi hipertensi resisten.
Daftar Pustaka
1. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al; National Heart, Lung, and Blood Institute Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure; National High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7). JAMA. 2003;289(19):2560–2572.
1. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al; National Heart, Lung, and Blood Institute Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure; National High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7). JAMA. 2003;289(19):2560–2572.
2. Calhoun DA, Jones D, Textor S, et al. Resistant hypertension: diagnosis, evaluation, and treatment: a scientific statement from the American Heart Association Professional Education Committee of the Council for High Blood Pressure Research. Circulation. 2008;117:e510–e526.
3. Daugherty SL, Powers JD, Magid DJ, et al. Incidence and prognosis of resistant hypertension in hypertensive patients. Circulation. 2012;125:1635–1642.
4. John J. Sim, MD1, Simran K. Bhandari, MD1, Jiaxiao Shi, PhD2, Lu A. In Liu, MS2, David A. Calhoun, MD3, Elizabeth A. McGlynn, PhD4, Kamyar Kalantar- Zadeh, MD, PhD5, and Steven J. Jacobsen, MD, PhD2: Characteristics of Resistant Hypertension in a Large Ethnically Diverse Hypertension Population of an Integrated Health System .2013 October ; 88(10): 1099– 1107 5. De la Sierra A, Segura J, Banegas JR, et al. Clinical features of 8295 patients with resistant hypertension classified on the basis of ambulatory blood pressure monitoring. Hypertension. 2011;57: 898–902.
6. Nilay Kumar , David A Calhoun Tanja Dudenbostel. Management of patients with resistant hypertension: current treatment options 1: Department of Medicine, 2 Division of Cardiovascular Disease, Hypertension and Vascular Biology Program, University of Alabama at Birmingham, Birmingham, AL, USA.2013
7. Calhoun DA, Nishizaka MK, Zaman MA, Harding SM. Aldosterone excretion among subjects with resistant hypertension and symptoms of sleep apnea. Chest. 2004;125:112–117.
8. Pratt-Ubunama MN, Nishizaka MK, Boedefeld RL, Cofield SS, Harding SM, Calhoun DA. Plasma aldosterone is related to severity of obstructive sleep apnea in subjects with resistant hypertension. Chest. 2007;131:453– 459.
9. Lozano L, Tovar JL, Sampol G, et al. Continuous positive airway pressure treatment in sleep apnea patients with resistant hypertension: a randomized, controlled trial. J Hypertens. 2010;28:2161–2168. 10. Douma S, Petidis K, Doumas M, et al. Prevalence of primary hyperaldosteronism in resistant hypertension: a retrospective observational study. Lancet. 2008;371:1921–1926.
11. Calhoun DA, Nishizaka MK, Zaman MA, Thakkar RB, Weissmann P. Hyperaldosteronism among black and
white subjects with resistant hypertension. Hypertension. 2002;40:892–896.
white subjects with resistant hypertension. Hypertension. 2002;40:892–896.
12. Safian RD, Textor SC. Renal-artery stenosis. N Engl J Med. 2001;344: 431– 442.
13. Thomas J. Moore, Paul R. Conlin, Jamy Ard, Laura P. Svetkey,for the DASH scientific Contributions DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) Diet Is Effective Treatment for Stage 1 Isolated Systolic Hypertension: 2000
14. Aucott L, Poobalan A, Smith WC, Avenell A, Jung R, Broom J. Effects of weight loss in overweight/obese individuals and long-term hypertension outcomes: a systematic review. Hypertension. 2005;45: 1035–1041.
15. Whelton SP, Chin A, Xin X, He J. Effect of aerobic exercise on blood pressure: a meta-analysis of randomized, controlled trials. Ann Intern Med. 2002;136:493–503.
16. Dimeo F, Pagonas N, Seibert F, Arndt R, Zidek W, Westhoff TH. Aerobic exercise reduces blood pressure in resistant hypertension. Hypertension. 2012;60:653–658.
17. Doumas M, Papademetriou V, Douma S, Faselis C, TsioufisK, Gkaliagkousi E, Petidis K, Zamboulis C. Benefits from treatment and control of patients with resistant hypertension. Int J Hypertens 2010; 2011: 318549 PMID:21234402 DOI:10.4061/2011/318549
18. Michael E. Ernst; Barry L. Carter; Chris J. Goerdt; Jennifer J.G. Steffensmeier; Beth Bryles Phillips; M. Bridget Zimmerman; George R. Bergus. Comparative Antihypertensive Effects of Hydrochlorothiazide and Chlorthalidone on Ambulatory and Office Blood Pressure.
19. Vaclavik J, Sedlak R, Plachy M, et al. Addition of spironolactone in patients with resistant arterial hypertension (ASPIRANT): a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Hypertension. 2011;57:1069–1075. 20. Sica DA. Chlorthalidone: has it always been the best thiazide type diuretik Hypertension. 2006;47:321–322.
21. Murray MD, Deer MM, Ferguson JA, et al. Open-label randomized trial of torsemide compared with furosemide therapy for patients with heart failure. Am J Med. 2001;111:513–520.
22. Sever PS, Dahlof B, Poulter NR, et al. Prevention of coronary and stroke events with atorvastatin in hypertensive patients who have average or lower-than-average cholesterol concentrations, in the Anglo-Scandinavian Cardiac Outcomes Trial – Lipid Lowering Arm (ASCOT- LLA): a multicentre randomised controlled trial. Lancet. 2003;361:1149–1158.
23. de Souza F, Muxfeldt E, Fiszman R, Salles G. Efficacy of spironolactone therapy in patients with true resistant hypertension. Hypertension. 2010;55:147–152
24. Eric K. Judd and Suzanne Oparil. Novel strategies for treatment of resistant hypertension. Vascular Biology and Hypertension Program, Division of Cardiovascular Disease, Department of Medicine, School of Medicine,The University of Alabama at Birmingham, Birmingham, Alabama, USA. 2013 International Society of Nephrology
25. Persu A, Renkin J, Asayama K, O’Brien E, Staessen JA. Renal Denervation in Treatment-Resistant Hypertension. Expert Rev Cardiovasc Ther 2013;11(6):739-49.
Komentar
Posting Komentar